
, JAKARTA – Pemerintahan selama 100 hari oleh Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Rano Karno diberikan penilaian buruk oleh beberapa organisasi kemasyarakatan.
Lembaga-lembaga tersebut antara existed adalah Greenpeace, LBH Jakarta, serta UPC atau Urban Poor Consortium.
Organisasi bukan pemerintahan tersebut menganggap bahwa selama seratus hari kepemimpinan Pramono dan Rano, kebijakan awal yang tercantum dalam Instruksi Gubernur Nomor e-0001 Tahun 2025 belum berhasil memecahkan permasalahan utama penduduk setempat.
Layanan umumnya masih lamban, keluhan warga sering kali diabaikan, dan pelbagai masalah yang sudah lama ada tetap tidak terselesaikan.
Pada laporan 100 hari, pasangan Pramono-Rano memperoleh skor 20 untuk Manajemen Pantai dan Pulau-pulau Kecil, 10 untuk Penanggulan sampah, 20 untuk Pembuatan Lapangan Kerja, 50 untuk Desa Kangkung, 20 untuk Reforma Agraria di Area perkotaan, nol untuk Rancangan Undang-undang tentang Bantuan hukum, 10 untuk Layanan publik dan birokrasi, serta 30 untuk Evakuasi paksa.
Jeanny Sirait, juru kampanye untuk Keadilan Iklim dari Greenpeace Indonesia, menyampaikan bahwa gagasan mengadakan pameran lapangan kerja setiap tiga bulan di 44 kecamatan dipersepsikan sebagai solusi yang kurang tepat sasaran, khususnya untuk golongan berisiko tinggi dan pemuda tanpa pekerjaan. Apalagi dukungan ini tampak lemah dalam menjangkau sektor casual.
Agar dapat memecahkan masalah pengangguran, Pemerintah Provinsi DKI perlu berkonsentrasi pada pemberian pelatihan sesuai dengan kekuatan lokal serta bimbingan dalam peningkatan kemampuan, termasuk juga perlindungan bagi sektor tidak official yang menduduki posisi penting di hampir 37,95% dari aktivitas ekonomi warga Jakarta.
” Tanpa pelatihan yang tertuju, pameran pekerjaan hanya akan menjadi formalitas semata. Jakarta perlu menyiapkan lapangan kerja yang adil serta berkesinambungan. Harus dikembangkan program pelatihan dan kesempatan kerja bertema Pekerja Hijau sehingga penduduk mendapatkan keahlian yang cocok dengan tuntutan masa depan,” jelas Jeanny.
Studi yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan bahwa sektor pekerjaan hijau bisa menciptakan 19,4 juta kesempatan kerja baru.
Menurutnya, agar bisa menghasilkan akses yang adil, Pemerintah Provinsi DKI perlu pula memusatkan perhatian pada penjaminan hak-hak pekerja tidak official, seperti para pedagang kaki lima.
Bukan hanya itu saja, komitmennya untuk menggantikan Giant Sea Wall dengan solusi alamiah seperti Giant Mangrove Wall word play here masih belum direalisasikan.
Di sisi existed, konstruksi tanggul pantai terus diteruskan sebagai jawaban jangka panjang utama dan mengakibatkan pemindahan paksa penduduk, sebagaimana terjadi di Angke Kapuk.
Mangrove sangat berperan dalam perlindungan pantai dan masyarakat,” katanya. “Namun, pemerintah malahan menyepelekan hal ini dan lebih memilih proyek-proyek yang merusak ekosistem serta mengungsi penduduk sebagai penanganan utama dan tetap.
Dalam bidang pengelolaan sampah, walaupun Jakarta mempunyai ribuan financial institution sampah, baru 63% saja yang beroperasi dengan baik.
Sebaliknya dari menguatkan pendekatan pengelolaan sampah mulai dari sumber, pemerintah mendukung teknologi RDF layaknya yang ada di Rorotan dan hal ini menimbulkan protes dari masyarakat setempat.
” RDF Rorotan tidaklah menjadi jawaban; malahan hal itu semakin mengeraskan ketergantungan kita terhadap pembangkitan limbah dan bisa mengancam keselamatan penduduk. Bila Jakarta bermaksud menjadikan dirinya sebagai sebuah kota yang lestari, prioritas utama mereka seharusnya adalah mereduksi jumlah sampah di hulunya,” tegas Ibar Akbar, Penggiat Kampanye Limbah dan Kota Urban untuk Greenpeace Indonesia.
Pemerintah Provinsi Jakarta Terus Melakukan Penggusuran, Masyarakat Semakin Tertekan.
Selama lima bulan awal tahun ini, Urban Poor Consortium melaporkan adanya tujuh insiden penggusaran yang terjadi di Jakarta.
Bukan cuma perusahaan swasta yang terlibat dalam tindakan pemukiman paksa ini, tetapi juga pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Pemerintah Nasional. Seringkali hal tersebut diiringi dengan adanya pengawasan dari petugas kepolisian hingga anggota militer Angkatan Darat.
Kondisi tersebut bertahan lantaran masih efektifnya Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2016, yang mengizinkan pemasungan paksa tanpa melalui tahapan peradilan.
” Warga Kampung Bayam merupakan bukti nyata bahwa meskipun condition mereka sudah diterima secara lawful, sampai saat ini mereka masih belum bisa menduduki Kampung Susun Bayam. Pihak pemerintahan merombak program tempatan menjadi sistem penyewaan yang tidak adil dan tidak memasukkan pendapat masyarakat,” ungkap perwakilan UPC, Guntorong.
Dia menyebutkan bahwa meskipun terdapat mandat reforma agraria dalam Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 serta beberapa peraturan daerah yang sudah ada, Pramono belum mengimplementasikan tindakan nyata guna memecahkan masalah perkampungan masyarakat pedesaan.
Tidak adanya kejelasan tersebut mendorong warganya terpisah jauh dari kesempatan mendapatkan hak fundamentalnya dalam menikmati kehidupan yang layak di kotanya sendiri, tempat mereka sehari-hari memberikan sumbangsih.
” Jakarta perlu bertransformasi. Kota ini seharusnya menjamin keamanan penduduknya, bukannya secara konstan memindahkan mereka,” tandasnya.
Jakarta Tidak Dapat Menjamin Hak Bantuan Hukum bagi Penduduknya.
Sebaliknya, perwakilan dari LBH Jakarta Alif Fauzi Nurwidiastomo mengatakan bahwa sejak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum.
Sebenarnya, wilayah lain seperti Banten, Jawa Barat, serta sejumlah kota telah menerapkan peraturan daerah tersebut.
Union of Civil Society remains to advise Governor of DKI Province to seriously release the policy, however there has actually been no actual activity from either the previous or present guvs.
” Buruknya sistem birokrasi di Jakarta serta praktik diskriminatif sangat merugikan masyarakat setempat dan melanggar Undang-Undang tentang Pelayanan Publik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu bertanggung jawab dalam memberlakukan hak terhadap layanan hukum dan pelayanan publik yang adil kepada seluruh penduduk Jakarta,” tegas Alif. (mcr4/jpnn).